KERJA KERAS BEBAS CEMAS ; PASTI AMAN-PASTI CAIR-PASTI TENANG

KERJA KERAS BEBAS CEMAS ; PASTI AMAN-PASTI CAIR-PASTI TENANG
APAPUN PEKERJAAN ANDA Lindungi diri Anda mulai Sekarang dari Resiko Kerja Anda, REJEKI dapat di Cari Kematian tak bisa kita Hindari

Kamis, 29 Desember 2016

SITUS MAKAM KI AGENG TARUB

SITUS MAKAM KI AGENG TARUB :
Situs makam KI AGENG TARUB ( JOKO TARUB ) walau banyak yang mengaku disana sini tapi disini penulis tetap berkeyakinan bahwa situs makam yang asli adalah Makam KI AGENG TARUB yang berada di desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan    Propinsi Jawa Tengah.                          
Sebuah penelitian situs makam KI AGENG TARUB yang pernah dilakukan oleh Ibu AMBAR WIDYAWATI Alumnus UNES Tahun 2003 yang sekarang sebagai Pengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri, sekitar 8 tahun lalu melakukan penelitian situs makam KI AGENG TARUB se EKS Karesidenan se Jawa Tengah beliau bersama mantan Dosennya Bapak SUKADARYANTO menuturkan ada 5 situs di jawa Tengah antara lain :
1. Di Desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan.
2. Di Desa Sani Kabupaten Pati.
3. Di Desa Tarub Kabupaten Karanganyar.
4. Di Desa Tarub Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
5. Di Desa Bulupitu Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen.
Namun menurut beliau situs Makam Ki Ageng Tarub yang asli adalah situs makam yang berada di Desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan.
Disamping dari hasil penelitian yang dilakukan Ibu AMBAR tersebut untuk menambah keyakinan bahwa makam KI AGENG TARUB yang asli ada di Desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Grobogan adalah setiap tahun di laksanakan Haul Ki AGENG TARUB selalu di hadiri dari Jajaran Karaton Surakarta Hadiningrat seperti Gusti Kanjeng Ratu ( GKR ) Wandansari, Gusti Kanjeng Ratu ( GKR ) Ayu Koes Indriyah, GKR Galuh serta Pangageng yang lainnya setiap beliau-beliau memberikan sambutan pasti mengatakan bahwa “ Disinilah letak Makam KI AGENG TARUB Leluhur Para Raja Tanah Jawa yang sebenarnya...!!!! kepada para hadirin.

Dan sebuah bentuk kebenaran bahwa Makam Ki Ageng Tarub yang berada di Desa Tarub- Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan Jawa Tengah dibuktikan di setiap Tahun Pangageng Karaton Surakarta Hadiningrat Selalu Melaksanakan RITUAL berupa HAUL Ki Ageng Tarub tersebut.



Gerbang Masuk Makam Ki Ageng Tarub Setelah di Pugar

Bangunan Makam Ki Ageng Tarub


Pelurusan Papan Nama Makam Ki Ageng Tarub 
dari Karaton Surakarta Hadiningrat

Penunjukan JURU KUNCI Makam Ki Ageng Tarub
Dari Karaton Surakarta Hadiningrat


KRT. Andinagoro ( Jakarta ) bersama KRAT. Priyohadinagoro 
di Gerbang Masuk Makam Ki Ageng Tarub
Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan - Jawa Tengah

GKR. Galuh Bersama Pangageng Karaton Surakarta Hadiningrat Lainnyamelukukan penggantian 
Kain Penutup Makam Ki Ageng Tarub setiap tahun 
sekali bertepatan dengan HAUL Ki Ageng Tarub

GKR. Wandansari ( Gusti Moeng ) Memberikan Kata Sambutan
pada saat Acara Haul Ki Ageng Tarub akan segera dilaksanakan

 
Gunungan Diarak Dari Balai Kelurahan menuju Makam 
Ki Ageng Tarub


 Situasi Di lokasi Makam Ki Ageng Tarub saat Haul

GKR. Wandansari, KRT. PriyoAstono ( Juru Kunci )
Beserta para Abdi Dalem Lainnya

KRT. Priyoastono ( Juru Kunci ) Bersama Abdi Dalem berasal dari Malaysia KRT. Datuk Husain
KRAT. Priyohadinagoro bersama Abdi Dalem Lainnya 
di depan Makam Ki Ageng Tarub





Semoga informasi ini bermanfaat untuk 
Salam Budaya........






Senin, 26 Desember 2016

SEJARAH KASUNANAN SURAKARTA TAHUN 1745-1945

Sejarah Kasunanan Surakarta Tahun 1745-1945, Pembentukan Daerah Istimewa Surakarta Tanggal 1 September 1945 dan Berakirnya DIS Akibat Gerakan Anti Monarki Oleh Tan Malaka Oktober 1945

Kesultanan Mataram yg runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yg mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yg berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yg merupaken sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah.

Pakubuwana II yg menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yg baru. Bangunan Keraton Kartasura yg sudah hancur & dianggap “tercemar”. Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso [bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I], bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J. A. B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yg baru.


Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “wisuda” bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri & kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 [atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya]. Berlakunya Perjanjian Giyanti [13 Februari 1755] menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I.


Keraton & kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yg sama dengan Surakarta yg lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa [Mangkunagara I].


Pembetukan Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Kasunanan Surakarta Hadiningrat ialah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yg berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yg bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III & Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dlm dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta & Yogyakarta.

Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.

Setiap raja Kasunanan Surakarta yg bergelar Sunan [demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yg bergelar Sultan] selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.

Kejayaan Kesunanan Surakarta

Kerajaan Mataram yg berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yg besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yg meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yg diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yg dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram. Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yg sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yg tak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yg ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, & Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat & Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yg dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yg dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yg disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara.


Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi sesudah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.


Berbeda dengan Pakubuwana III yg agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV [1788-1820] ialah sosok raja yg membenci penjajah & penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, & Mangkunegara I.


Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yg berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yg tak sepaham dengannya. Para pejabat istana yg disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yg memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I & Mangkunegara I untuk mengepung istana.

Di dlm istana, para pejabat yg sebenarnya tak sependapat dengan Pakubuwana IV juga ikut menekan dengan maksud agar para penasehat rohani kerajaan yg beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwana IV akhirnya takluk & menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yg isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan & kedaulatan yg setara sehingga tak boleh saling menyerang. Pengganti Pakubuwana IV ialah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yg oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yg sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V ialah Sri Susuhunan Pakubuwana VI.


Pakubuwana VI ialah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yg memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta & pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan & dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.


Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dlm pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI & membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, & kini ia hidup nyaman di Batavia. Fitnah yg dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.


Pakubuwana IX sendiri masih berada dlm kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yg damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya.


Pemerintahannya berakhir saat wafatannya & karena tak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya [lain ibu] bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yg naik tahta pada usia 69 tahun. Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun sampai akhir hayatnya. 


Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara [ayah Ranggawarsita yg menjabat sebagai juru tulis keraton] telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dlm penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet.


Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi & suasana politik kerajaan yg stabil. Pada masa pemerintahannya yg cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dlm tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi & penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta [1938] diadakan pada masa pemerintahannya. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota [Sangkrah], Stadion Sriwedari, kebun binatang [”Taman Satwataru”] Jurug, Jembatan Jurug yg melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, & rumah perabuan [pembakaran jenazah] bagi warga Tionghoa. Beliau meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939.


Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yg terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI. Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo. Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.


Status Kasunanan Surakarta Masa Kemerdekaan


Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia [1945-1946], Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan & agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dlm wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. SISKS Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta, bersama permaisuri Ratu Hemas & putri, GKR Pembajoen.

Baliho Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh SISKS Pakubuwana XII, di Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta.

Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunagaran yg menyatakan wilayah mereka ialah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.


Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dlm rapat PPKI diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan propinsi & dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA Mangkunegara VIII yg menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yg bersifat kerajaan ialah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.


Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yg setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Sebagaimana diketahui, barulah sekitar lima hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yg menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


Gerakan Anti Monarki Oleh Tan Malaka Oktober 1945

Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya ialah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Tujuan gerakan ini ialah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara & Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini ialah perampasan tanah-tanah pertanian yg dikuasai Mangkunegara & Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.

Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem [perdana menteri] Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik & dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yg umumnya kerabat raja & diganti orang-orang yg pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yg baru KRMT Yudonagoro juga diculik & dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yg sama.


Pemerintah RI membekukan status Daerah Istimewa Surakarta

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan & pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS & menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan & Mangkunegaran & daerah Surakarta yg bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk & susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta & Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat & warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni & budaya Jawa.

Pemerintahan Pakubuwana XII

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Belanda yg tak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta.

Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting & memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan, sampai muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu merupaken sekutu pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa marah & memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan, padahal fitnah itu amat sangat tak benar & keliru. Karena seperti diketahui, para raja-raja Kasunanan terdahulu merupaken salah satu penentang pemerintah penjajah yg paling utama.


Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, & masa pemerintahannya merupaken yg terlama diantara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004. Sepeninggalnya terjadi perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yg masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.


Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai sesudah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dlm sebuah rekonsiliasi resmi yg di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, & Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih [pepatih dalem] dengan gelar KGPHPA [Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung].



SUMBER : SEJARAH NUSANTARA

SEJARAH KERATON SURAKARTA

SEJARAH KERATON SURAKARTA

Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Radya Laksana, Lambang Kasunanan Surakarta
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Ibu kota : Kota Surakarta
Bahasa : Jawa
Agama : mayoritas Islam
Pemerintahan : Monarki
Susuhunan (Sunan):
– 1745-1749; t. 1726 Paku Buwono II
– 1945-1946; w. 2004 Paku Buwono XII
Sejarah
Hadeging Nagari Surakarta (berdiri) 1745
Pendirian Provinsi Surakarta Agustus 1945
Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 (pembubaran)
Latar Belakang
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742.
Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Sejarah Berdirinya
Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan dampak dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam yang berdiri sejak abad ke-16 Masehi. Pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam berada di Mentaok, kemudian Kotagede (Yogyakarta). Pada masa Amangkurat I (1645-1677), tepatnya tahun 1647, pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered (sekarang di Kabupaten Bantul).
Kemudian, Amangkurat II (1680-1702), mendirikan kerajaan baru di timur Yogyakarta, yaitu di hutan Wonokarto yang berganti nama menjadi Kartasura (kini di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah). Pembangunan keraton baru ini dilakukan karena istana Plered dikuasai pemberontak dan dianggap sudah tidak layak lagi digunakan sebagai pusat pemerintahan. Keraton baru di Kartasura yang mulai dibangun pada 1679 kemudian dikenal sebagai Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Berturut-turut, penerus tahta Amangkurat II di Kasunanan Kartasura Hadiningrat adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwono I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), sampai dengan Pakubuwono II (1726-1749).
Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Naskah Perjanjian Giyanti, yang membagi wilayah Mataram menjadi dua.
Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Wilayah Kasunanan Surakarta pada 1830 (berwarna merah tua dan berada di sebelah utara)

Perpecahan Wangsa Mataram
Di era pemerintahan Pakubuwono II, yakni pada kurun 1741-1742, terjadi upaya perlawanan yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” yang menyebabkan hancurnya istana Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Oleh sebab itu, pada 1744, Pakubuwono II membangun pusat pemerintahan baru di Desa Sala (Solo), dekat Sungai Bengawan Solo. Daerah ini kemudian dikenal juga dengan nama Surakarta. Dibangunnya istana di Surakarta menandai berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pemerintahan Pakubuwono II sebagai penguasa pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih diwarnai polemik internal antara sesama trah Mataram. Saudara tiri Pakubuwono II, yakni Pangeran Mangkubumi, menuntut tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Akan tetapi, Pakubuwono II justru menunjuk putranya, yakni Raden Mas Suryadi, sebagai putra mahkota. Pangeran Mangkubumi tidak menerima keputusan itu sehingga pada tahun 1746 ia meninggalkan istana dan mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Masa Kolonial
Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I.
Pakubuwono IV
Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwono IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Menjelang dan Setelah Kemerdekaan RI
Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, Belanda mulai curiga kepada Pakubuwono VI karena menolak menyerahkan beberapa wilayah di Surakarta. Sejumlah orang kepercayaan Pakubuwono VI lalu ditahan dan dipaksa membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro.
Pakubuwono VI
Meskipun tidak pernah ditemukan bukti, Belanda tetap mendakwa Pakubuwono VI bersalah dan pada 8 Juni 1830, Pakubuwono VI beserta keluarganya dibuang ke Ambon, padahal ketika itu permaisuri Pakubuwono VI sedang hamil. Menurut keterangan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda, kapal yang ditumpangi rombongan Pakubuwono VI mengalami kecelakaan dan mengakibatkan sang Raja tewas, sedangkan sang permasiuri selamat dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Raden Mas Duksino pada 22 Desember 1830.
Ketika dipindahkan dari Ambon ke Imogiri pada 1957, di dahi tengkorak Pakubuwono VI ditemukan lubang yang ternyata cocok dengan ukuran peluru senjata api jenis Baker Riffle. Atas penemuan tersebut kemudian muncul dugaan bahwa wafatnya Pakubuwono VI bukan disebabkan kecelakaan, melainkan karena ditembak pada bagian dahi. Atas jasa dan pengorbanan beliau, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964, Sri Susuhunan Pakubuwono VI ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Pakubuwana X

Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta, bersama permaisuri Ratu Hemas dan putri, GKR Pembajoen.
Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang (“Taman Satwataru”) Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.
Masa Kemerdekaan
Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (1945 – 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gerbang Keraton 1880-1920Gerbang Keraton 1880-1920
Sumber tulisan dari Pustaka nasional, http://jawakuno.com/
Diunggah dari: Grup FB Indonesian History
Judul Asli: Sejarah Keraton Surakarta
Gambar Sampul: Radya Laksana, lambang Kasunanan Surakarta

AURA MAGIS ASTANA MANGADEG: PESAREAN PANGERAN SAMBER NYOWO



imagesAstana Mangadeg merupakan makam keturunan Kerajaan Mangkunegaran. Makam itu terkenal memiliki daya mistis dan tempat sakral yang tidak bisa diperlakukan sembarangan. Posisi dan keberadaan Astana Mangadeg di atas Astana Giribangun di lereng barat Gunung Lawu tepatnya terletak di Desa Karang Bangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebagai leluhur di atasnya yang melindungi, “hamemayungi” menjadi payung keberadaan makam anak cucunya.
Banyak fenomena mistis membuktikan keberadaan Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Istana Mangkunegaran, salah satu pecahan dinasti Mataram. Makam itu merupakan Raja Mangkunegoro III (sebutan jawa; Mangkunegoro III) keturunan Raja Mataram Panembahan Senopati selalu melindungi dan merestui makam anak cucu di bawahnya. Salah satu yang dimakamkan disini adalah Kanjeng Pangeran Adi Pati arya Sri Mangkunegara I. Pangeran Adi terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo. Tokoh kesohor raja Mangkunegaran dikenal sakti mandraguna dan selalu menjadi rujukan raja-raja Mataraman baik Surakartan (Solo) dan Ngayogyokarto Hadiningrat (Yogya).
????????Kejadian-kejadian mistis itu seolah-olah kedua raja dan sesepuh Mangkunegaran yang dimakamkan di sini di antaranya Kanjeng Pangeran Adi Pati Arya Sri Mangkunegara I, atau disebut Pangeran Samber Nyowo memberikan restu maupun memberikan perlindungan pada saat-saat tertentu dari kejahatan atau perbuatan tangan-tangan jahil. Beberapa peristiwa dan fenomena mistis aneh terjadi di antaranya saat makam Presiden Kedua Indonesia, HM Soeharto digali. Suasana pemakaman Soeharto di Astana Giribangun kala itu sedang redup, tak ada awan. Hanya angin yang berhembus pelan saat itu. Soeharto dimakamkan pada Minggu Wage, 27 Januari 2008 setelah Azan Asar sekitar pukul 15.30 WIB. Keluarga besar Soeharto dan sejumlah tokoh ternama baik dari dalam maupun luar negeri.
images2Sebelum penggalian, keluarga besar Soeharto melakukan upacara Bedah Bumi. Tujuannya adalah agar penggalian dapat berjalan lancar dan selamat. Upacara tersebut dipimpin oleh Begug Purnomosidi mantan Bupati Wonogiri. Upacara dimulai dengan menancapkan linggis ke tanah pemakaman sebanyak tiga kali. Yang pertama, tidak terjadi apapun dan begitu pula dengan yang kedua. Namun, kejadian yang membuat merinding bulu kuduk terjadi saat linggis mengoyak tanah untuk kali ketiganya. “Tiba-tiba, duar! Terdengar suara ledakan yang sangat keras bergema di atas kepala kami,” kata juru kunci makam keluarga Soeharto di Astana Giribangun Soekirno. Para penggali makam dan orang-orang di sekitarnya sontak kaget mendengar ledakan itu. Mereka saling berpandangan. Bingung. Mencoba mereka-reka dan mencari-cari dari mana asal suara menggelegar itu.“Bukan bunyi petir, lebih mirip suara bom besar meledak di atas cungkup Astana Giribangun,”  kata Sukirno.
????????Anehnya, tak ada yang porak poranda. Tak ada benda yang bergeser karena suara ledakan itu. Terbesit di pikiran, mungkin itu suara ghaib. Semua yang ada di tempat itu terdiam, terpaku. Lalu, suara Begug Purnomo Sidi memecah keheningan. “Bumi mengisyaratkan penerimaan terhadap jenazah beliau,” tutur Sukirno, menirukan kalimat Bupati Wonogiri. Tidak hanya itu yang dialami sang juru kunci Astanagiribangun Sukirno. Beberapa bulan sebelum kematian Soeharto, terjadi longsor mendadak di bawah Perbukitan Astana Giribangun. Selain pengalaman menggali makam Soeharto, pria kelahiran Karanganyar tahun 1953 itu juga masih ingat ketegangan terjadi di Astana Giribangun, tahun 1998, saat kekuasaan Soeharto berakhir. Masa di mana-mana menghujat dan ingin mengadili Soeharto beserta keluarganya. Terjadi pula perebutan tanah-tanah serta pengerusakan aset negara yang saat itu dikuasai Soeharto di beberapa daerah. Hingga merembet ada kabar, makam keluarga Soeharto itu bakal diserang dan akan dirusak oleh ribuan masa. “Bersama warga saya memasang drum-drum di tengah jalan. Di depan pertigaan di depan SD Ibu Tien yang terletak di tanjakan menjelang Astana. Kami memalang puluhan batang bambu ori berduri. Siapa yang melintas dengan berjalan kaki sekalipun, tak bakal gampang menembusnya,” tutur Sukirno.
Malam-malam pun terasa panjang. Orang-orang kampung dan desa secara bersama-sama dengan pengurus dan berjaga di sekitar makam. Dari pesawat komunikasi HT terdengar sandi, 1.000 “kuda lumping” yang artinya ada seribu pengedara sepeda motor menuju dan bergerak mengarah ke Astana. Atau lima ratus “gerobak” atau 500 pengendara mobil juga. “Anehnya tak pernah sekalipun mereka yang hendak melempari Astana dan merusak bangunan makam di sini itu benar-benar tiba,”  kata Sukirno.  Sukirno berkeyakinan arwah para leluhur raja Mangkunegaran datang dan melindungi sebab arwah leluhur bagi orang Jawa diyakini masih bersemayam dan jika dalam situasi darurat akan muncul dan melakukan perlindungan. Apalagi leluhur mereka yaitu Kanjeng Pangeran Adi Pati arya Sri Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo yang memiliki Aji Panglimunan itu. 

Sabtu, 24 Desember 2016

10 PERILAKU ISTRI DURHAKA KEPADA SUAMI.

10 Perilaku Istri Durhaka Kepada Suami
Di bawah ini adalah 10 perilaku yang harus dihindari oleh para istri, agar tidak menjadi golongan istri durhaka kepada suami, diantaranya adalah: 
Menuntut keluarga yang ideal dan sempurna
Sebelum menikah, seorang wanita membayangkan pernikahan yang begitu indah, kehidupan yang sangat romantis sebagaimana ia baca dalam novel maupun ia saksikan dalam sinetron-sinetron. Ia memiliki gambaran yang sangat ideal dari sebuah pernikahan. Kelelahan yang sangat, cape, masalah keuangan, dan segudang problematika di dalam sebuah keluarga luput dari gambaran nya. 
Ia hanya membayangkan yang indah-indah dan enak-enak dalam sebuah perkawinan. 
Akhirnya, ketika ia harus menghadapi semua itu, ia tidak siap. Ia kurang bisa menerima keadaan, hal ini terjadi berlarut-larut, ia selalu saja menuntut suaminya agar keluarga yang mereka bina sesuai dengan gambaran ideal yang senantiasa ia impikan sejak muda. 
Seorang wanita yang hendak menikah, alangkah baiknya jika ia melihat lembaga perkawinan dengan pemahaman yang utuh, tidak sepotong-potong, romantika keluarga beserta problematika yang ada di dalamnya. 
2. Nusyus (tidak taat kepada suami)
Nusyus adalah sikap membangkang, tidak patuh dan tidak taat kepada suami. Wanita yang melakukan nusyus adalah wanita yang melawan suami, melanggar perintahnya, tidak taat kepadanya, dan tidak ridha pada kedudukan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan untuknya. 
Nusyus memiliki beberapa bentuk, diantaranya adalah: 
Menolak ajakan suami ketika mengajaknya ke tempat tidur, dengan terang-terangan maupun secara samar.
Mengkhianati suami, misalnya dengan menjalin hubungan gelap dengan pria lain.
Memasukkan seseorang yang tidak disenangi suami ke dalam rumah
Lalai dalam melayani suami
Mubazir dan menghambur-hamburkan uang pada yang bukan tempatnya
Menyakiti suami dengan tutur kata yang buruk, mencela, dan mengejeknya
Keluar rumah tanpa izin suami
Menyebarkan dan mencela rahasia-rahasia suami.
Seorang istri shalihah akan senantiasa menempatkan ketaatan kepada suami di atas segala-galanya. Tentu saja bukan ketaatan dalam kedurhakaan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan taat kapan pun, dalam situasi apapun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, suka ataupun duka. Ketaatan istri seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan cinta dan memelihara kesetiaan suami. 
3. Tidak menyukai keluarga suami
Terkadang seorang istri menginginkan agar seluruh perhatian dan kasih sayang sang suami hanya tercurah pada dirinya. Tak boleh sedikit pun waktu dan perhatian diberikan kepada selainnya. Termasuk juga kepada orang tua suami. Padahal, di satu sisi, suami harus berbakti dan memuliakan orang tuanya, terlebih ibunya. 
Salah satu bentuknya adalah cemburu terhadap ibu mertuanya. Ia menganggap ibu mertua sebagai pesaing utama dalam mendapatkan cinta, perhatian, dan kasih sayang suami. Terkadang, sebagian istri berani menghina dan melecehkan orang tua suami, bahkan ia tak jarang berusaha merayu suami untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya. Terkadang istri sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang tua dan keluarga suami, atau membesar-besarkan suatu masalah, bahkan tak segan untuk memfitnah keluarga suami. 
Ada juga seorang istri yang menuntut suaminya agar lebih menyukai keluarga istri, ia berusaha menjauhkan suami dari keluarganya dengan berbagai cara. 
Ikatan pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan dalam sebuah lembaga pernikahan, namun juga ‘pernikahan antar keluarga’. Kedua orang tua suami adalah orang tua istri, keluarga suami adalah keluarga istri, demikian sebaliknya. Menjalin hubungan baik dengan keluarga suami merupakan salah satu keharmonisan keluarga. Suami akan merasa tenang dan bahagia jika istrinya mampu memposisikan dirinya dalam kelurga suami. Hal ini akan menambah cinta dan kasih sayang suami. 
4. Tidak menjaga penampilan
Terkadang, seorang istri berhias, berdandan, dan mengenakan pakaian yang indah hanya ketika ia keluar rumah, ketika hendak bepergian, menghadiri undangan, ke kantor, mengunjungi saudara maupun teman-temannya, pergi ke tempat perbelanjaan, atau ketika ada acara lainnya di luar rumah. Keadaan ini sungguh berbalik ketika ia di depan suaminya. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor, cukup hanya mengenakan pakaian seadanya: terkadang kotor, lusuh, dan berbau, rambutnya kusut masai, ia juga hanya mencukupkan dengan aroma dapur yang menyengat. 
Jika keadaan ini terus menerus dipelihara oleh istri, jangan heran jika suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah. Semestinya, berhiasnya dia lebih ditujukan kepada suami Janganlah keindahan yang telah dianugerahkan oleh Allah diberikan kepada orang lain, padahal suami nya di rumah lebih berhak untuk itu. 
5. Kurang berterima kasih
Tidak jarang, seorang suami tidak mampu memenuhi keinginan sang istri. Apa yang diberikan suami jauh dari apa yang ia harapkan. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan suami, meskipun suaminya sudah berusaha secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan keinginan-keinginan istrinya. 
Istri kurang bahkan tidak memiliki rasa terima kasih kepada suaminya. Ia tidak bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepadanya lewat suaminya. Ia senantiasa merasa sempit dan kekurangan. Sifat qona’ah dan ridho terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya sangat jauh dari dirinya. 
Seorang istri yang shalihah tentunya mampu memahami keterbatasan kemampuan suami. Ia tidak akan membebani suami dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami. Ia akan berterima kasih dan mensyukuri apa yang telah diberikan suami. Ia bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya, dengan bersyukur, insya Allah, nikmat Allah akan bertambah. 
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” 
6. Mengingkari kebaikan suami
“Wanita merupakan mayoritas penduduk neraka.” Demikian disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah shalat gerhana ketika terjadi gerhana matahari. 
Ajaib!! wanita sangat dimuliakan di mata Islam, bahkan seorang ibu memperoleh hak untuk dihormati tiga kali lebih besar ketimbang ayah. Sosok yang dimuliakan, namun malah menjadi penghuni mayoritas neraka. Bagaimana ini terjadi? 
“Karena kekufuran mereka,” jawab Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam ketika para sabahat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah mereka mengingkari Allah? 
Bukan, mereka tidak mengingkari Allah, tapi mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat suaminya. Andaikata seorang suami berbuat kebaikan sepanjang masa, kemudian seorang istri melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari seorang suami, maka si istri akan mengatakan bahwa ia tidak melihat kebaikan sedikitpun dari suaminya. Demikian penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari (5197). 
Mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan suami!! 
Inilah penyebab banyaknya kaum wanita berada di dalam neraka. Mari kita lihat diri setiap kita, kita saling introspeksi, apa dan bagaimana yang telah kita lakukan kepada suami-suami kita? 
Jika kita terbebas dari yang demikian, alhamdulillah. Itulah yang kita harapkan. Berita gembira untukmu wahai saudariku. 
Namun jika tidak, kita (sering) mengingkari suami, mengingkari kebaikan-kebaikannya,  maka berhati-hatilah dengan apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bertobat,  satu-satunya pilihan utuk terhindar dari pedihnya siksa neraka. Selama matahari belum terbit dari barat, atau nafas telah ada di kerongkongan,  masih ada waktu untuk bertobat. Tapi mengapa mesti nanti? Mengapa mesti menunggu sakaratul maut? 
Janganlah engkau katakan besok dan besok wahai saudariku; kejarlah ajalmu,  bukankah engkau tidak tahu kapan engkau akan menemui Robb mu? 
“Tidaklah seorang isteri yang menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu dimurkai Allah, seorang suami begimu hanyalah seorang tamu yang bisa segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR. At Tirmidzi, hasan) 
Wahai saudariku, mari kita lihat, apa yang telah kita lakukan selama ini , jangan pernah bosan dan henti untuk introspeksi diri,  jangan sampai apa yang kita lakukan tanpa kita sadari membawa kita kepada neraka, yang kedahsyatannya tentu sudah Engkau ketahui. 
Jika suatu saat, muncul sesuatu yang tidak kita sukai dari suami; janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan yang telah suami kita lakukan. 
“Maka lihatlah kedudukanmu di sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR.Ahmad) 
7. Mengungkit-ungkit kebaikan
Setiap orang tentunya memiliki kebaikan, tak terkecuali seorang istri. Yang jadi masalah adalah jika seorang istri menyebut kebaikan-kebaikannya di depan suami dalam rangka mengungkit-ungkit kebaikannya semata. 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” [Al Baqarah: 264] 
Abu Dzar radhiyallahu’Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga kelompok manusia dimana Allah tidak akan berbicara dan tak akan memandang mereka pada hari kiamat. Dia tidak mensucikan mereka dan untuk mereka adzab yang pedih.” 
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya sebanyak tiga kali.” Lalu Abu Dzar bertanya, “Siapakah mereka yang rugi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang menjulurkan kain sarungnya ke bawah mata kaki (isbal), orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikannya dan orang yang suka bersumpah palsu ketika menjual. ” [HR. Muslim] 
8. Sibuk di luar rumah
Seorang istri terkadang memiliki banyak kesibukan di luar rumah. Kesibukan ini tidak ada salahnya, asalkan mendapat izin suami dan tidak sampai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya. 
Jangan sampai aktivitas tersebut melalaikan tanggung jawab nya sebagai seorang istri. Jangan sampai amanah yang sudah dipikulnya terabaikan. 
Ketika suami pulang dari mencari nafkah, ia mendapati rumah belum beres, cucian masih menumpuk, hidangan belum siap, anak-anak belum mandi, dan lain sebagainya. Jika hni terjadi terus menerus, bisa jadi suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar atau di kantor. 
9. Cemburu buta
Cemburu merupakan tabiat wanita, ia merupakan suatu ekspresi cinta. Dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan wajar bila seorang istri merasa cemburu dan memendam rasa curiga kepada suami yang jarang berada di rumah. Namun jika rasa cemburu ini berlebihan, melampaui batas, tidak mendasar, dan hanya berasal dari praduga; maka rasa cemburu ini dapat berubah menjadi cemburu yang tercela. 
Cemburu yang disyariatkan adalah cemburunya istri terhadap suami karena kemaksiatan yang dilakukannya, misalnya: berzina, mengurangi hak-hak nya, menzhaliminya, atau lebih mendahulukan istri lain ketimbang dirinya. Jika terdapat tanda-tanda yang membenarkan hal ini, maka ini adalah cemburu yang terpuji. Jika hanya dugaan belaka tanpa fakta dan bukti, maka ini adalah cemburu yang tercela. 
Jika kecurigaan istri berlebihan, tidak berdasar pada fakta dan bukti, cemburu buta, hal ini tentunya akan mengundang kekesalan dan kejengkelan suami. Ia tidak akan pernah merasa nyaman ketika ada di rumah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, kejengkelannya akan dilampiaskan dengan cara melakukan apa yang disangkakan istri kepada dirinya. 
10. Kurang menjaga perasaan suami
Kepekaan suami maupun istri terhadap perasaan pasangannya sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik, kesalahpahaman, dan ketersinggungan. Seorang istri hendaknya senantiasa berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya agar tidak menyakiti perasaan suami, ia mampu menjaga lisannya dari kebiasaan mencaci, berkata keras, dan mengkritik dengan cara memojokkan. Istri selalu berusaha untuk menampakkan wajah yang ramah, menyenangkan, tidak bermuka masam, dan menyejukkan ketika dipandang suaminya. 
Demikian beberapa perbuatan yang harus dihindari oleh para istri, yang sudah berjanji menerima suaminya dihadapan Allah SWT ketika didepan penghulu, untuk bisa menerima apa adanya keadaan suaminya. Semoga dengan membaca artikel ini kita dapat menyadarinya betapa perbuatan-perbuatan di atas sangat rusak sekali, dengan menghindari perbuatan-perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat keluarga yang Sakinah, Mawadah dan Warohmah. Bisa berkumpul di SurgaNya Allah bersama suami. Menjadi suami istri sampai Surga.
Amiin Yaa Robbal’alamiin… 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)