KERJA KERAS BEBAS CEMAS ; PASTI AMAN-PASTI CAIR-PASTI TENANG

KERJA KERAS BEBAS CEMAS ; PASTI AMAN-PASTI CAIR-PASTI TENANG
APAPUN PEKERJAAN ANDA Lindungi diri Anda mulai Sekarang dari Resiko Kerja Anda, REJEKI dapat di Cari Kematian tak bisa kita Hindari

Rabu, 30 Januari 2019

SERAT WEDHATAMA


꧅ ꦯꦼꦫꦠ꧀ꦮꦺꦣꦠꦩꦗꦁꦏꦼꦥ꧀ ꧅


SERAT WEDHATAMA (Lengkap)


Serat wedhatama ini adalah salah satu serat karangan KGPH Mangkunegara IV, berasal dari dua kata wedha yang berarti ajaran dan tama yang berarti utama, serat ini berisi tentang ajaran-ajaran kebaikan, budi pekerti dan akhlak yang hingga sampai sekarang masih dapat diterapkan dalam kehidupan, serat ini ditulis dalam bentuk tembang macapat agar mudah diingat dan digemari oleh masyarakat Jawa yang pada umumnya menyukai kesenian. Naskah aslinya sekarang masih dapat kita lihat di Museum Reksapustaka di Pura Mankunegaran lantai dua.


ꦮꦺꦣꦠꦩ
W E D H A T A M A
K a r y a  :  M a n g k u n e g a r a  I V

Arti dan Makna diambil dari Buku
Wedatama Winardi ( Bahasa Indonesia )
Terbitan : PT . Citra Jaya Murti Surabaya
Cetakan ke 3 Tahun 1988




PUPUH I

P A N G K U R
꧉ ꦥꦁꦏꦸꦂ ꧉

01
꧑ ꧅ ꦩꦶꦁꦏꦂꦩꦶꦁꦏꦸꦂꦲꦶꦁꦲꦁꦏꦫ꧈ ꦲꦏꦫꦤꦏꦉꦤꦤ꧀ꦩꦿꦢꦶꦱꦶꦮꦶ꧈ ꦱꦶꦤꦮꦸꦁꦉꦱ꧀ꦩꦶꦤꦶꦁꦏꦶꦢꦸꦁ꧈ ꦱꦶꦤꦸꦧꦱꦶꦤꦸꦏꦂꦠ꧈ ꦩꦿꦶꦃꦏꦽꦠꦂꦠꦥꦏꦂꦠꦶꦤꦶꦁꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸꦭꦸꦲꦸꦁ꧈ ꦏꦁꦠꦸꦩꦿꦥ꧀ꦤꦺꦁꦠꦤ꧀ꦤꦃꦗꦮ꧈ ꦲꦒꦩꦲꦒꦼꦩ꧀ꦩꦶꦁꦲꦗꦶ꧉
Mingkar-mingkuring angkara,   
akarana    karenan     mardi    siwi, sinawung  resmining kidung , sinuba  sinukarta, mrih  kretarta  pakartining  ngelmu  luhung,
kang  tumrap  neng  tanah Jawa,
agama ageming aji.

Wedha = kitab. Tama = utama, luhur. Wedhatama = ilmu budi-luhur. Mingkar mingkur = membelakangkan, ticlak suka. Angkara = angkara murka, hawa nafsu. Akarana = karena, sebab. Mandi = mendidik, mengaiar. Karenan = gemar, senang. Siwi = anak, putera, murid. Sinawung = disertai, aambfl. bersama-sama. Resmi = keindahan, bagus. Kidung = gendhing = lagu, nyanyian. Sinuba-sinukarta = dihias, variasi. Kretarta = terlaksana, terkabul, bahagia. Pakarti = watak, sikap-laku. Ngelmu luhung = ilmu luhur, ilmu kebatinan. Aji = ratu, utama. berguna.

MAKNANYA :
Karena senang mendidik para putra, maka sambil berdendang (menyanyi) Sri Mangku Negara IV menyingkirkan hawa napsu angkara. Sedang lagu yang digubahnya dihiasi dengan kata-kata yang menarik agar tanpa terasa, ajaran budi luhur ini meresap dalam hati. Ilmu budi luhur ini mempunyai daya-pengaruh pada pembentukan watak yang sesuai dengan dasar-dasar kejiwaan orang Jawa/Indonesia. Maka yang mempelajarinya niscaya akan tertuntun ke arah WATAK KETUHANAN.


02
꧒  ꧅ ꦗꦶꦤꦼꦗꦼꦂꦤꦺꦁꦮꦺꦣꦠꦩ꧈ ꦩꦿꦶꦃꦠꦤ꧀ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦏꦼꦩ꧀ꦧꦼꦁꦔꦤ꧀ꦤꦶꦁꦥꦩ꧀ꦧꦸꦢꦶ꧈ ꦩꦺꦴꦁꦏꦤꦢꦾꦤ꧀ꦠꦸꦮꦥꦶꦏꦸꦤ꧀꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦶꦏꦤ꧀ꦤꦶꦫꦱ꧈ ꦪꦼꦏ꧀ꦠꦶꦱꦼꦥꦶꦲꦱꦼꦥꦭꦶꦂꦱꦼꦥꦃꦱꦩꦸꦤ꧀
ꦱꦩꦁꦱꦤꦺꦥꦏꦸꦩ꧀ꦥꦸꦭ꧀ꦭꦤ꧀ ꦒꦺꦴꦚꦏ꧀ꦒꦚꦸꦏ꧀ ꦔ꧀ꦭꦶꦭꦶꦁꦱꦼꦩ꧀ꦩꦶ꧉
Jinejer neng WedhaTama, mrih tan kemba kembenganing pambudi; mongka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepa lir sepah samun; samangsane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglilingsemi.


Jineier = disusun, dijajarkan, disajikan. Kembenganing = berisi penuh. Pambudi = budi-daya. Tuwa pikun = usia laniut (pelupa). Mikani rasa = menghayati perasaan. Sepi sepa samun = kosong, hampa, tiada rasa perasaan. Yekti = tentu, sungguh, niscaya. Gonyak-ganyuk = tidak sopan-santun, tak susila. Nglilingsemi = mamalukan.

MAKNANYA :
Dalam Wedatama tercantum anjuran agar orang tak henti-hentinya meresapi hakekat ajaran budi luhur ini. Orang yang berusia lanjut, yang lazimnya sudah menjadi pelupa atau mudah khilaf, apabila tak merasakan RASA SEJATI/KEJIWAAN, ia akan tetap kurang memiliki pengertian dan perasaan halus. Ibarat sepah (ampas) tebu, tiada lagi rasanya. Jiwanya hampa, hanya berisi angan-angan dan hawa napsu belaka. Bila ia berhubungan dengan "atau berbicara tentang Ilmu Kebatinan, maka kata-katanya simpang-siur, tujuannya tak jelas. Nada bicaranya, pandangan mata/roman mukanya, sikap lakunya, semuanya tampak dibuat-buat. Itulah tanda bahwa jiwanya benar-benar masih kosong.


03
꧅ ꦒꦸꦒꦸꦏꦂꦱꦤꦺꦥꦿꦶꦪꦺꦴꦁꦒ꧈ ꦤꦺꦴꦫꦔꦁꦒꦺꦴꦥꦥꦫꦃꦭꦩꦸꦤ꧀ꦲꦁꦔ꧀ꦭꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦩꦸꦃꦲꦶꦔꦫꦤ꧀ꦧꦭꦶꦭꦸ꧈ ꦲꦸꦒꦼꦂꦒꦸꦫꦸꦲꦊꦩ꧀ꦩꦤ꧀꧈ ꦤꦔꦶꦁꦗꦤ꧀ꦩꦲꦶꦁꦏꦁꦮꦸꦱ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦢꦺꦁꦱꦼꦩꦸ꧈ ꦱꦶꦤꦩꦸꦤ꧀ꦲꦶꦁꦱꦩꦸꦢꦤ꧈ ꦱꦱꦢꦺꦴꦤ꧀ꦲꦶꦔꦢꦸꦩꦤꦶꦱ꧀꧉
Nggugu karsane priyangga,
nora nganggo peparah lamun angling; lumuh ingaran balilu;
uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun ing samudana,
sasadon ingadu manis.

Priyangga = pribadi, send iri. Tanpeparah lamun angling = bicaxa tanpa malu, tidak mengingat akan tempat, waktu dan dengan siapa, membandel, kepala-batu. Balilu = bodoh. Guru aleman = minta dipuja-puji. Janma = insan, manusia. Semu = glagat = gejala, tanda-tanda, gelagat. Sinamun = ditutupi. dirahasiakan. Samudana = pura-pura. Sesadon ingadu manis = bicara manis.

MAKNANYA :
Sebaliknya orang yang telah dapat menguasai dirinya, orang yang luas pengertiannya, orang yang memiliki Ilmu Kebatinan yang sempurna, manakala berhadapan dengan orang yang merasa serba bisa dan serba tahu, ia akan menanggapinya dengan bijaksana. Merasa belas-kasihan dan berusaha menutup-nu1;_upi kebodohan orang itu, dengan pura-pura setuju terhadap kata-kata dan pendapatnya. Ia berani rnengalah, artinya berusaha agar tanggapan dan sikapnya tidak sampai mengecewakan orang yang dihadapinya itu.




                                                             04
꧅ ꦱꦶꦥꦺꦔꦸꦁꦤꦺꦴꦔ꧀ꦭꦼꦒꦺꦮ꧈ ꦱꦁꦱꦪꦂꦢꦢꦺꦤꦶꦫꦕꦕꦫꦶꦮꦶꦱ꧀ ꦔꦤ꧀ꦞꦂꦲꦤ꧀ꦞꦂꦲꦔꦼꦤ꧀ꦞꦸꦏꦸꦂ꧈ ꦏꦤ꧀ꦞꦤꦺꦤꦺꦴꦫꦏꦥꦿꦃ꧈ ꦱꦪꦲꦺꦭꦺꦴꦏ꧀ꦲꦭꦁꦏꦭꦺꦴꦁꦏꦁꦔꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀                           ꦱꦶꦮꦱꦶꦱ꧀ꦮꦱ꧀ꦏꦶꦛꦔꦭꦃ꧈ ꦔꦭꦶꦔꦶꦩꦫꦁꦱꦶꦥꦶꦁꦒꦶꦁ꧉
Sipengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar andhar -angendhukur,
kandhane nora kaprah,
saya elok alangka  -longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

Nglegewa = tak peduli. acuh-tak-acuh. Pengung (pingging) = bodoh. Sangsayarda = semakin sangat, menjadi-jadi. Ngandhar-andhar = melantur. Angendhukur = bicara serba elok/aneh-aneh (bombastis). Nora kaprah = tidak masuk akal, tidak keruan. Alangka = jarang-jarang (dalam bicara). Longkangan = celah-celah kata. Siwasis = si-pandai. cerdik, cendekia. Waskitha = waspada, waskita.

MAKNANYA :
Bagi orang yang telah tinggi pengetahuan serta martabatnya, adanya hanya rasa belas kasih dan selalu berusaha membuat senang perasaan orang lain yang dihadapinya. Sepi dari segala pamrih bagi diri sendiri. Tidak takut dicela namun juga tidak ingin dipuji, serta suka memberi maaf.

05
꧅ ꦩꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸꦏꦁꦚꦠ꧈ ꦱꦚꦠꦤꦺꦩꦸꦁꦮꦺꦃꦉꦱꦼꦥ꧀ꦲꦶꦁꦲꦠꦶ꧈ ꦧꦸꦔꦃꦲꦶꦁꦔꦫꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦕꦸꦧ꧀ꦭꦸꦏ꧀ ꦱꦸꦏꦺꦁꦠꦾꦱ꧀ꦪꦺꦤ꧀ꦢꦺꦤ꧀ꦲꦶꦤ꧈ ꦤꦺꦴꦫꦏꦪꦱꦶꦥꦸꦁꦒꦸꦁꦲꦁꦒꦸꦁꦒꦸꦩꦸꦁꦒꦸꦁ꧈ ꦲꦸꦒꦸꦁꦔꦤ꧀ꦱꦢꦶꦤꦢꦶꦤꦲꦗꦩꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦮꦺꦴꦁꦲꦸꦫꦶꦥ꧀
Mangkono ngelmu kang nyata, sanyatane mung weh reseping ati ; bungah ingaranan cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina-dina aja mangkono wong urip.

Cubluk = orang bodoh, picik. Sukeng tyas = menerima dengan tulus hati. Anggung = selalu, senantiasa. Gumunggung ugungan = berusaha keras agar dipuii-puji ( negatif ), manja.

MAKNANYA :
Pengarang Wedatama ini memberi petuah hendaknya orang menjauhi sikap sepérti orang yang kosong jiwanya itu. Sebab dengan demikian, selama di dunia ini hidupnya akan sia-sia. Segala sesuatunya tak wajar, pikirannya merana tak berujung-pangkal serta tak bertujuan, ibarat ”jiwa terkurung dalam gua yang gelap-gulita.”

06
꧅ ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦱꦥꦶꦱꦤ꧀ꦫꦸꦱꦏ꧀  ꦤꦺꦴꦫꦩꦸꦭꦸꦂꦤꦭꦂꦫꦺꦠꦶꦁꦱꦭꦸꦮꦶꦂ꧈ ꦏꦢꦶꦠꦒꦸꦮꦏꦁꦱꦶꦫꦸꦁ꧈ ꦱꦸꦤꦼꦫꦁꦲꦶꦁꦩꦫꦸꦠ꧈ ꦒꦸꦩꦉꦁꦒꦼꦁꦲꦁꦒꦼꦁꦲꦁꦒꦼꦉꦁꦲꦁꦒꦸꦁꦒꦸꦩꦿꦸꦁꦒꦸꦁ꧈ ꦥꦶꦤ꧀ꦞꦥꦣꦤꦺꦱꦶꦩꦸꦣ꧈ ꦥꦿꦤ꧀ꦢꦺꦤꦺꦥꦏ꧀ꦱꦏꦸꦩꦏꦶ꧉
Uripe sapisan rusak,
nora mulur nalare ting saluwir,
kadi ta guwa kang sirung,
sinerang ing maruta,
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

Guwa kang sirung = goa yang gelap-gulita di dalamnya. Sinerang ing maruta= diterjang / ditiup angin. Pindha = seperti, umpama. Paksa kumaki = tetap congkak sombong.

07
꧅ ꦏꦶꦏꦶꦱ꧀ꦲꦤ꧀ꦤꦺꦩꦸꦁꦱꦥꦭ꧈ ꦥꦭꦪꦸꦤꦺꦔꦤ꧀ꦢꦼꦭ꧀ꦏꦼꦤ꧀ꦪꦪꦃꦮꦶꦧꦶ꧈ ꦧꦁꦏꦶꦠ꧀ꦠꦸꦂꦧꦁꦱꦤꦶꦁꦭꦸꦲꦸꦂ꧈ ꦭꦃꦲꦶꦪꦲꦶꦁꦏꦁꦫꦩ꧈ ꦧꦭꦶꦏ꧀ꦱꦶꦫꦱꦫꦮꦸꦁꦔꦤ꧀ꦧꦲꦺꦢꦸꦫꦸꦁ꧈ ꦩꦿꦶꦁꦲꦠꦶꦤꦶꦁꦠꦠꦏꦿꦩ꧈ ꦒꦺꦴꦤ꧀ꦲꦁꦒꦺꦴꦤ꧀ꦲꦒꦩꦱꦸꦕꦶ꧉ 
Kikisane mung sapala, palayune ngandelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon anggon agama suci.

Kikisane = akhimya kalau terpojok. Sapala = remeh, sepele, tak seberapa. Yayah wibi = ayah, ibu, kakak, guru dan sebagainya. Bangkit luhur = terpandang, tergolong orang luhur. Atining tata-krama = azas-alas kesusilaan lahir-batin.

MAKNANYA :
( 6 / 7 ) Orang yang sempit pandangan hidupnya biasanya suka mengandalkan ( menyanjung-nyanjung ) leluhurnya. Ayah, ibu, kakek, nenek atau mungkin gurunya yang konon adalah orang-orang luar biasa. Seandainya benar ia keturunan orang orang berderajat tinggi, atau murid seorang guru yang berbudi luhur lagi sakti, namun apa gunanya kalau ia sendiri tidak memiliki sesuatu. Jangankan berbuat seperti leluhurnya, sedangkan bertemu dengan ”kesusi1aan batin” ( etika ) saja belum pernah. Yang diartikan dengan ”kesusilaan batin” ialah jiwa yang senantiasa berbakti kepada TUHAN, kepada orang-tua dan kepada tanah kelahirannya, dan selalu pula berani ”mawas diri”, melihat baik-buruk dalam hati sendiri. Demikian itulah martabat leluhur kita dahulu dan ini pulalah inti sari dari setiap agama suci.


08
꧅ꦱꦺꦴꦕꦤꦶꦁꦗꦶꦮꦁꦒꦤꦶꦫ꧈ ꦗꦺꦂꦏꦠꦫꦭꦩꦸꦤ꧀ꦥꦺꦴꦕꦥ꧀ꦥꦤ꧀ꦥꦱ꧀ꦛꦶ꧈ ꦭꦸꦩꦸꦃꦲꦱꦺꦴꦂꦏꦸꦢꦸꦲꦸꦁꦒꦸꦭ꧀ ꦱꦸꦩꦼꦔꦃꦱꦺꦴꦱꦺꦴꦔꦂꦫꦤ꧀ ꦪꦺꦤ꧀ꦩꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦏꦼꦤꦲꦶꦔꦫꦤ꧀ꦏꦠꦸꦁꦏꦸꦭ꧀ ꦏꦉꦩ꧀ꦲꦶꦁꦫꦺꦃꦏꦥꦿꦮꦶꦫꦤ꧀ ꦤꦺꦴꦫꦲꦺꦤꦏ꧀ꦲꦶꦏꦸꦏꦏꦶ꧉
Socaning jiwangga nira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sosongaran. yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran; nora enak iku kaki.

Soca = ciri, cela. Jer katara = terlihat. Surnengah = sombong, congkak. Sesongaran = menunjukan / pamer kelebihannya. Katungkul = tergila-gila, tekun.

MAKNANYA :
Ciri-ciri jiwa yang masih kosong antara lain tampak pada roman-muka, tutur-kata dan sikap-laku yang tak mau kalah. Selalu ingin unggul dengan memamerkan kelebihannya. Misalnya mereka yang rnemiliki kesaktian yang bersumber pada daya-daya halus, sihir jimat dan sebagainya yang biasa disebut ilmu karang (kanoragan).

09
꧅ ꦏꦼꦏꦼꦂꦫꦤ꧀ꦤꦺꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸꦏꦫꦁ꧈ ꦏꦏꦫꦁꦔꦤ꧀ꦱꦏꦶꦁꦧꦁꦱꦤꦶꦁꦒꦆꦧ꧀꧈ ꦲꦶꦏꦸꦧꦺꦴꦫꦺꦃꦥꦩꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀ ꦠꦤ꧀ꦫꦸꦩꦱꦸꦏ꧀ꦲꦶꦁꦗꦱꦢ꧀ ꦲꦩꦸꦁꦲꦤꦺꦁꦱꦗꦧꦤꦶꦁꦢꦒꦶꦁꦏꦸꦭꦸꦤ꧀
Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulun, yen kapengkok panca-baya, ubayane mbalenjani.


Kekeran = yang dirahasiakan. Ilmu karang = ilmu sihir, jimat-jimat takhayul. Kapengkok = menghadapi dengan tiba-tiba. Pancabaya = marabahaya. Ubaya = usaha, daya ke kuatan,- kesanggupan.
MAKNANYA :
Dasar dan landasan ilmu karang tersehut hanyalah sesuatu yang gaib karena sihir dan sebagainya (magie hitam). Kelebihan seperti itu yang hanya berada di luar kulit. Jadi tidak tahan lama dan tidak dapat diandalkan dalam menghadapi mara bahaya. Mungkin luntur karena perbuatannya sendiri, karena melanggar dasar-dasar KEBENARAN dan KESUCIAN.

10
꧅ ꦩꦂꦩꦲꦶꦁꦱꦧꦶꦱꦧꦶꦱ꧈ ꦧꦧꦱꦤꦺꦩꦸꦫꦶꦲꦠꦾꦱ꧀ꦧꦱꦸꦏꦶ꧈ ꦥꦸꦫꦸꦲꦶꦠꦲꦏꦁꦥꦠꦸꦠ꧀ ꦭꦤ꧀ꦠꦿꦥꦲꦶꦁꦲꦁꦒꦤꦶꦫ꧈ ꦲꦤꦲꦸꦒꦲꦁꦒꦼꦂꦲꦸꦒꦼꦂꦫꦶꦁꦏꦥꦿꦧꦸꦤ꧀꧈ ꦲꦧꦺꦴꦤ꧀ꦲꦧꦺꦴꦤ꧀ꦤꦶꦁꦥꦤꦼꦩ꧀ꦧꦃ꧈ ꦏꦁꦏꦩ꧀ꦧꦃꦲꦶꦁꦱꦶꦪꦁꦫꦠꦿꦶ꧉
Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki; puruitaa kang patut, lan traping angganira, ana uga angger ugering kaprabun, abon-aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

Marma = oleh karena, sebab. Puruita = berguru, mengabdi. Tyas basuki =dirgahayu, budi rahayu. Traping angganira = menempatkan diri, menyesuaikan diri. Angger ugering = dasar, azas-azas. Kaprabon = kerajaan, Ratu (disini dalam arti TUHAN). Abon-abon = cam, pada tempatnya, inhaerent, ubarampa. Kambah  = dipakai, dikeriakan. Siang ratri = siang malam.

MAKNANYA :
Hendaknya orang berusaha menempatkan diri selayaknya, bersikap selayaknya dan sebagainya agar ”dirgahayu lahir batinnya”. Dirgahayu lahir batin itu berpengaruh terhadap orang-orang di sekelilingnya. Artinya bukan hanya dirgahayu bagi diri sendiri yang ia kejar-kejar, melainkan juga dirgahayu bagi sesama, dirgahayu bagi dunia. Hendaknya orang jangan berguru untuk hal-hal yang gaib-gaib seperti kekebalan, kesaktian lahiriah dan sebagainya, melainkan bergurulah untuk mengerti tentang hakekat/prinsip-prinsip dirgahayu, antara lain: BERBAKTI KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA. Apabila orang telah memahami benar-benar serta menguasai hakekat/prinsip-prinsip dirgahayu, hendaknya melaksanakannya setiap saat, pagi, siang, petang dan malam, terus-menerus.

11
꧅  ꦲꦶꦏꦸꦏꦏꦶꦠꦏꦺꦴꦏ꧀ꦲꦼꦤ꧀ꦤ꧈ ꦩꦫꦁꦥꦫꦱꦂꦗꦤꦩꦂꦠꦥꦶ꧈ ꦩꦿꦶꦁꦠꦥꦏ꧀ꦏꦶꦁꦠꦼꦥꦠꦸꦭꦸꦱ꧀ ꦏꦮꦮꦤꦲꦼꦤ꧀ꦲꦮ꧈ ꦮꦿꦸꦃꦲꦤ꧀ꦤꦶꦫꦩꦸꦁꦒꦸꦃꦱꦚꦠꦤꦶꦁꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸ꧈ ꦠꦤ꧀ꦥꦱ꧀ꦛꦶꦤꦺꦁꦗꦤ꧀ꦩꦮꦽꦣ꧈ ꦠꦸꦮꦶꦤ꧀ꦩꦸꦣꦱꦸꦢꦿꦏꦏꦶ꧉ 
Iku kaki takokeno,
marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus,
kawawa nahen hawa.
wruhanira mungguh sanyataning ngelmu, tan pasthi neng janma wredha, tuwin mudha sudra kaki.

Martapi = pertapa, olah samadi. Tapak = bekas, jejak. Tepa tulus = tauladan, kesaksian. Kawawa = kuasa, berhasii memiliki. Janma wredha = orang tua. kakek kakek. Sudra = rakyat jelata;


MAKNANYA :
Tanyakanlah sendi-sendi hakekat sujud itu kepada para sarjana yang bertapa. Artinya bukan bertapa seperti menyendiri serta berpuasa berhari-hari dan sebagainya, melainkan orang yang dapat menguasai badan kasar-halus yang sesuai dengan hukum kehidupan (mangreh hawa napsu), yang mudah dilihat serta dirasakan dari sikap-lakunya yang wajar bersahaja, tutur katanya yang halus tulus dan berisi, keadaan sehari harinya serba tertib dan baik, apalagi yang mempunyai pengaruh terhadap ketata-tentreman dan kesucian pada lingkungan sekelilingnya. Orang yang demikian itu belum tentu orang yang berusia lanjut. Kadang-kadang juga yang rnasih muda remaja. Lagi pula bukan orang-orang yang berpangkat/berderajat tinggi saja, melainkan juga orang-orang biasa.

12
꧅  ꦱꦥꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦮꦃꦪꦸꦤꦶꦁ ꦄꦭ꧀ꦭꦃꦒꦾꦢꦸꦩꦶꦭꦃꦩꦔꦸꦭꦃꦔꦺꦭ꧀ꦩꦸꦧꦁꦏꦶꦠ꧀  ꦧꦁꦏꦶꦠ꧀ꦩꦶꦏꦠ꧀ꦫꦺꦃꦩꦔꦸꦏꦸꦠ꧀ ꦏꦸꦏꦸꦠ꧀ꦠꦤ꧀ꦤꦶꦁꦗꦶꦮꦁꦒ꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦩꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦏꦼꦤꦱꦶꦤꦼꦧꦸꦠ꧀ꦮꦺꦴꦁꦱꦼꦥꦸꦃ꧈ ꦭꦶꦂꦫꦶꦁꦱꦼꦥꦸꦃꦱꦼꦥꦶꦲꦮ꧈ ꦲꦮꦱ꧀ꦫꦺꦴꦫꦺꦴꦤꦶꦁꦲꦠꦸꦁꦒꦶꦭ꧀
Sapantuk wahyuning Allah gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, yen mangkono kena sinebut Wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

Dumilah = terang dalam arti jelas-hening pada pancaindera. Bangkit mangulah = pandai mengatur / menyusun. Mangukut = menguasai seluruhnya.

MAKNANYA :
Barang siapa mendapatkan anugerah (wahyu) TUHAN, meskipun belum berusia lanjut dan atau orang yang tampaknya tak berarti, maka rasanya ialah terang-benderang dan hening jernih. Hal itu dapat diperoleh dengan kemauan sendiri, tanpa belajar atau diberi pelajaran. Dari kepandaian mengatur dan menempatkan panca-inderanya pada tempat nya masing-masing terhadap rasa yang datang dgari dasar batinnya (kalbunya). Sehingga panca-inderanya seakan-akan tidak ada, artinya tidak bekerja. Sementara itu lahir-batinnya dipersatukan dengan rasa-perasaan yang lebih halus lagi.
Orang yang sudah dapat berbuat demikian, itulah yang disebut orang-tua, dalam arti jiwanya. Orang yang dapat menundukkan (mangreh) bergeloranya hawa napsu dan merananya panca-indera, dapat memisahkan mana ”angan-angan” dan mana ”jiwanya sejati”.

13
꧅  ꦠꦤ꧀ꦱꦩꦂꦥꦩꦺꦴꦂꦫꦶꦁꦯꦸꦏ꧀ꦱ꧀ꦩ꧈
ꦱꦶꦤꦸꦏ꧀ꦱ꧀ꦩꦪꦮꦶꦤꦃꦪꦲꦶꦁ ꦲꦱꦼꦥꦶ꧈
ꦱꦶꦤꦶꦩ꧀ꦥꦼꦤ꧀ꦠꦼꦊꦁꦔꦶꦁꦏꦭ꧀ꦧꦸ꧈
ꦥꦩ꧀ꦧꦸꦏꦤꦶꦁꦮꦫꦤ꧈
ꦠꦂꦭꦺꦤ꧀ꦱꦏꦶꦁꦭꦶꦪꦼꦥ꧀ꦭꦪꦥ꧀ꦲꦶꦁꦲꦭꦸꦪꦸꦥ꧀ ꦥꦶꦤ꧀ꦞꦥꦼꦱꦠ꧀ꦠꦶꦁꦱꦸꦥꦼꦤ꧈
ꦱꦸꦩꦸꦱꦸꦥ꧀ꦲꦶꦁꦫꦱꦗꦠꦶ꧉
Tan samar pamoring suksma, sinuksmaya winahya ing ngasepi,
sinimpen telenging kalbu, pambukaning warana,
tarlen saking liyep layaping ngaluyup,
pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

Sinuksma = menghaluskan, menyaring perasaan. Warana = dinding penghalang. Tarlen = tidak lain daripada. Liyep-layap = setengah tidur, kantuk. Luyup = lupa sebentar.

MAKNANYA :
Ia tidak khilaf akan gaibnya jiwa yang tersimpan dalam dasar kalbunya, yang memancar pada saat-saat sunyi-sepi. Terbukanya tabir/penghalang yang selama itu menutupinya, ialah waktu mata sedang terbuka dan berkejab, ketika ingatan setengah sadar dan tidak, seolah-olah mimpi tetapi


tidék 'sedang tidur. Saat itu datanglah menyusup RASA SEJATI dalam kalbu.

14
ꦱꦗꦠꦶꦤꦺꦏꦁꦩꦁꦏꦤ꧈ ꦮꦸꦱ꧀ꦏꦏꦼꦤ꧀ꦤꦸꦒꦿꦲꦤꦶꦁꦲꦾꦁꦮꦶꦣꦶ꧈ ꦧꦭꦶꦲꦭꦩ꧀ꦩꦶꦁꦔꦱꦸꦮꦸꦁ꧈ ꦠꦤ꧀ꦏꦉꦩ꧀ꦏꦫꦩꦺꦪꦤ꧀ ꦲꦶꦁꦏꦁꦱꦶꦥꦠ꧀ꦮꦶꦱꦺꦱꦮꦶꦤꦶꦱꦺꦱꦮꦸꦱ꧀ ꦩꦸꦭꦶꦃꦩꦸꦭꦩꦸꦭꦤꦶꦫꦮꦺꦴꦁꦲꦤꦺꦴꦩ꧀ꦱꦩꦶ꧉
Sajatine kang mangkana, wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi; bali alaming ngasuwung, tan karem karamean; ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula-mulanira mulane wong anom sami

MAKNANYA :

Bila orang sudah sampai pada (tingkatan) alam yang demikian, maka itulah tanda bahwa RASA telah manunggal dengan YANG MAHA ESA. Artinya telah mendapatkan anugerah TUHAN, kembali ke alam kosong-hampa, padam segala luapan hawa napsunya, jernih budinya, kembali keasal mulanya.


( Pangimpun saha panyerat wangsul dening KRAT. Priyohadinagoro.)


BERSAMBUNG II PUPUH SINOM .........SABAR NGGIH....... Disambi makarya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar